Rabu, 26 November 2014

MAKALAH KAJIAN FIQH RAMADLAN

Posted by Ramadlan. Category:

Bulan Ramadlan :: MAKALAH KAJIAN FIQH RAMADLAN
MAKALAH KAJIAN FIQH RAMADLAN
FIQIH SHIYAM
FIQIH SHALAT TARAWIH
FIQIH ZAKAT FITRAH &
'IEDUL FITHRI

SHIYAM RAMADLAN

A. Definisi Shiyam
Puasa secara bahasa berarti : menahan sesuatu.
Allah  berfirman berkenaan dengan nadzarnya Maryam : "Sesungguhnya aku bernadzar kepada Allah untuk menahan diri dari berbicara kepada sispa pun." (QS. Maryam ; 26)

Secara syar'i berarti : menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, oleh orang-orang yang wajib berpuasa dengan disertai niat.

Adapun hal-hal yang membatalkan puasa adalah :
1. Syahwat kemaluan
2. Syahwat perut
3. Segala sesuatu yang tampak yang masuk ke dalam perut.

Sedangkan orang yang wajib berpuasa adalah :
1. Orang Muslim
2. Berakal
3. Tidak dalam keadaan haidl dan nifas

Dan niat adalah : Keinginan yang kuat dari hati untuk melakukan sesuatu perbuatan, tanpa ada keraguan sedikitpun.

B. Rukun Shiyam
Rukun puasa yaitu :
1. Niat. (barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya)
2. Menahan dari syahwat kemaluan dan perut.

C. Waktu Shiyam
Dari terbit fajar (fajar shadiq) sampai terbenam matahari.
Firman Allah  : "Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dan benang yang merah dari fajar." (QS. Al Baqarah : 187)
Sabda Nabi  : "Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan."
Ini menunjukkan bahwa batas akhir waktu sahur adalah masuknya waktu subuh, dan bagi negara-negara yang waktu siangnya hanya beberapa jam, maka harus disamakan dengan yang terdekat dan waktu siangnya lebih normal.

D. Tujuan dan Hikmah Puasa
Adapun tujuan teragung dari puasa adalah membentuk pribadi-pribadi menjadi manusia Muttaqien, serta mempertahankan ketaqwaan yang sudah diraih di bulan Ramadlan. (QS. Al Baqarah : 183).

Dan hikmah-hikmah shiyam Ramadlan adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan pahala yang tak terbatas dan masuk surga dari pintu Ar Rayyan.
Sabda Rasulullah  :
"Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah dari pada bau wangi misk (minyak kesturi), karena ia tanggalkan makan dan minum serta nafsunya demi Aku (Allah), Shiyam itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya, dan bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan, kebahagiaan disaat berbuka dan kebahagiaan disaat bertemu Rabbnya." (HR. Muslim)

Dan sabda beliau :
"Di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan. Maka akan diseru : "Dimanakah orang-orang yang berpuasa? Maka akan masuk lewat pintu itu orang-orang yang berpuasa, jika telah masuk semua orang-orang yang berpuasa semua pintu itu akan ditutup." (HR. Bukhary-Muslim).

2. Akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري ومسلم)
"Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadlan dengan didasari iman dan mengharap pahala-Nya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhary-Muslim).

3. Ramadlan adalah wahana yang tepat untuk menggembleng pribadi supaya berjalan di atas sifat-sifat yang terpuji, bersabar di dalam menjalankan segala aktivitas.
4. Ibadah shiyam mendidik untuk dapat memegang amanah dan selalu merasa ada dalam pengawasan Allah dimanapun berada.
5. Ibadah shiyam dapat menguatkan kemauan, menjernihkan pikiran. Seperti perkataan Luqman kepada anaknya : "Jika perut terasa penuh, maka akan merasa malas beribadah."
6. Ibadah shiyam mendidik untuk disiplin yang tinggi serta berdedikasi karena terbiasa merasa lapar pada waktu yang ditentukan.
7. Ibadah shiyam bisa menumbuhkan rasa persaudaraan dan solidaritas yang tinggi.
8. Ibadah shiyam sebagai wahana pemersatu ummat.
9. Ibadah shiyam merupakan wahana yang tepat untuk melatih diri dalam menahan nafsu.
Sabda Rasulullah: "Hai para pemuda, jika kalian telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi yang belum mampu maka berpuasalah, karena ia adalah benteng." (HR. Jama'ah).

10. Ibadah shiyam dapat menjadikan sehat serta menjadikan lambung beristirahat.
"Puasalah, niscaya akan menjadi sehat." (HR. Ibnu Sunni dan Ibnu Na'im, Hadits Hasan).

E. Hal-hal Yang Mewajibkan Shiyam
Shiyam akan menjadi wajib dengan adanya 3 (tiga) sebab :
1. Nadzar : seperti seseorang bernadzar untuk berpuasa karena Allah seminggu atau beberapa hari, maka ia wajib melaksanakan nadzarnya. (QS. Al Insan : 7)

2. Kafarat : apabila seseorang melakukan hal-hal yang mewajibkan untuk melaksanakan shiyam sebagai kafarat dari perbuatannya tersebut, seperti melakukan hubungan intim dengan isteri di siang hari bulan Ramadlan. Membatalkan sumpah dzhihar kepada isterinya dan lain-lain.

3. Menyaksikan datangnya bulan Ramadlan, meskipun hanya sebagian bulan Ramadlan. (QS. Al Baqarah : 85)

F. Menetapkan Waktu Masuknya Shiyam
Adapaun cara menentukan masuknya bulan Ramadlan ada 2 cara :
1. Dengan ru'yah (melihat hilal) pada malam tanggal 29 Sya'ban dan kalau belum muncul maka melihatnya pada tanggal 30 Sya'ban.
"Puasalah dengan melihat bulan, dan berbukalah dengan melihatnya pula, jika terhalang oleh mendung maka genapkan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari." (HR. Bukhary-Muslim).

2. Dengan menggenapkan bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, hal ini jika terhalang oleh mendung.

G. Apakah Cukup Melihat Bulan Di Satu Tempat atau Setiap Negara Harus Melihatnya?
Mengenai hal ini para Fuqaha' berbeda pendapat menjadi dua :
1. Madzhab Syafi'i : "Jika di suatu tempat telah melihat bulan (hilal), maka penduduk di daerah tersebut wajib berpuasa serta penduduk disekitarnya."

2. Jumhur Fuqaha' : "Bila di suatu tempat terlihat bulan, maka wajib seluruh kaum muslimin untuk berpuasa."

Adapun dalil pendapat pertama adalah :
1. Hadits Kuraib, yaitu ketika ia diutus oleh Ummu Fadll ke Syam untuk bertemu dengan Mu'awiyah, maka ia berkata : "Saya sampai di Syam dan telah melaksanakan kebutuhanku, sedangkan bulan Ramadlan telah masuk, padahal saya saat itu masih di Syam, dan yang melihat hilal Ramadlan pada malam Jum'at. Setelah itu saya pulang ke Madinah, dan sampai disana akhir bulan Ramadlan. Setelah itu aku bertemu Ibnu 'Abbas ia bertanya kepadaku : "Kapan kamu melihat bulan  (disaat kamu berada di Syam) ?". Saya menjawab : "Kami disana melihatnya pada malam Jum'at." Ia bertanya : "Kamu benar-benar melihatnya ?" Saya menjawab : "Ya, saya melihatnya dengan penduduk Syam serta Mu'awiyah berpuasa pada pagi harinya." Ia bekata : "Akan tetapi kami yang disini (Madinah) melihatnya pada malam Sabtu, kemudian kami tetap berpuasa sampai melihatnya atau menggenapkannya menjadi tiga puluh hari." Aku bertanya kepadanya : "Tidakkah kita cukup dengan penglihatan bulan yang dilakukan oleh Mua'wiyah dan puasanya ?" Ia menjawab : "Beginilah Rasulullah  menyuruh kami." (HR. Jama'ah kecuali Al Bukhary dan Ibnu Majah).
2. Mengqiyaskan (menyamakan) tempat terbitnya bulan yang berbeda-beda dengan tempat terbitnya matahari, sebab terbitnya matahari mempengaruhi waktu shalat sedangkan tempat terbitnya bulan mempengaruhi waktu puasa."

Sedangkan Jumhur Fuqaha' mendasarkan pendapat mereka dengan :
1. Hadits Nabi : "Berpuasalah kalian jika melihatnya, dan berbukalah kalian jika melihatnya. Jika terhalang maka genapkanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari." (HR. Bukhary-Muslim).

2. Negara-negara yang tidak melihat bulan hendaknya menyamakan dengan negara-negara lain yang telah melihat hilal Ramadlan. Sebab tidak ada yang membedakan diantara negara-negara tersebut.

Menanggapi perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ulama', kami ketengahkan pendapat beberapa Fuqaha' yang berusaha menyatukan kedua pendapat di atas.

Kalau kita lihat secara kenyataan yang terjadi, bahwa pendapat yang menyatakan bahwa setiap negara harus melihat Hilal Ramadlan, sangat tidak cocok dengan kenyataan sekarang. Jika kaum muslimin di Sumatera melihat Hilal sedangkan di negara Malaysia tidak melihat, maka bagaimana bisa kaum muslimin yang berada di Sumatera berpuasa sedangkan kaum muslimin di Malaysia belum berpuasa, padahal jarak antara kedua tempat tersebut relatif dekat. Lantas bagaimana dengan kaum muslimin yang berada di perbatasan dua negara, sedangkan jarak antara dua negara tersebut sangatlah pendek.

Menilik pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau memilih pendapat yang mengatakan bersatunya tempat terbitnya bulan, tapi beliau memberi batasan-batasan terhadap negara-negara yang berada dengan negara yang telah melihat Hilal. Yaitu apabila negara-negara yang tidak melihat Hilal, masih bersambung dalam satu malam dengan negara-negara yang melihat Hilal, maka negara-negara tersebut harus mengikuti ru'yahnya negara yang telah melihat Hilal. Dan Dr. Wahbah Az Zuhaily memberikan penjelasan dalam kitabnya, bahwa negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin yang terbentang dari timur ke barat tidak lebih dari sembilan jam. Ini menunjukkan bahwa sangat kuat sekali dan sesuai dengan kenyataan kalau kaum muslimin di seluruh negara-negara Islam harus mengikuti ru'yahnya salah satu negara, mengingat sekarang ini alat-alat komunikasi serba canggih sehingga mudah bagi kaum muslimin menerima berita tentang terbitnya Hilal dalam beberapa detik saja.

Imam Syaukani menyatakan, bahwa dalam hadits Kuraib yang diambil sebagai dalil adalah kata Ibnu 'Abbas yang disandarkan kepada Nabi : "Beginilah Rasul memerintahkan kami." Dan bukan pendapatnya Ibnu 'Abbas yang difahami oleh para Fuqaha' madzhab Syafi'i. Dan hadits Ibnu 'Umar tidak hanya perintah kepada sebagian kaum muslimin yang berada di suatu tempat, tapi menunujukkan perintah untuk seluruh kaum muslimin. Ini menunjukkan bahwa jika Hilal terlihat di suatu tempat, maka wajib bagi kaum muslimin untuk berpuasa.

H. Orang Yang Memberi Kabar Terlihatnya Hilal
Orang yang memberi kabar tentang terlihatnya Hilal Ramadlan disyaratkan beberapa syarat :
1. Harus seorang muslim, adil, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan harus bersaksi dengan nama Allah disaat memberi kabar.
Adapun jumlah yang bisa diterima kabarnya adalah :
Untuk awal Ramadlan yang memberi kabar cukup seorang saja, dan untuk bulan Syawwal orang yang memberi kabar minimal dua orang.
Ibnu 'Abbas berkata : "Telah datang seorang badui kepada Rasulullah  dan berkata : "Saya telah melihat Hilal Ramadlan." Rasulullah bertanya : "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah?." Ia menjawab : "Ya." Rasulullah bertanya lagi : "Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah." Ia menjawab : "Ya." Lalu Rasulullah memerintahkan kepada manusia untuk berpuasa pada esok harinya. Kemudian Rasulullah  bersabda : "Jika ada dua orang yang menyaksikan bulan (melihat Hilal) maka puasalah dan berbukalah."

I. Wajib Berpuasa pada Bulan Ramadlan
Kewajiban ibadah shiyam didasari dengan ayat Al Qur'an, Sunnah dan Ijma' kaum muslimin :
1. QS. Al Baqarah : 183
2. Sabda Rasulullah  : "Islam didirikan atas lima perkara : syahadat, shalat, zakat, shiyam Ramadlan dan ibadah haji bagi yang mampu."

Telah datang kepada Nabi seseorang dan bertanya : "Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku, puasa apakah yang wajib bagiku?" Rasulullah menjawab : "Puasa Ramadlan." Ia bertanya lagi : "Apakah ada yang lain ?" Rasul menjawab : "Tidak ada yang lain kecuali hanya puasa sunnat."
3. Ijma' kaum muslimin tentang wajibnya puasa Ramadlan.
Shiyam Ramadlan diwajibkan kepada Rasulullah  dan sahabatnya pada tahun kedua Hijriyah, yaitu setelah perintah memindahkan Qiblat ke Ka'bah. Dan Rasulullah  berpuasa sembilan kali Ramadlan sejak diwajibkannya hingga akhir hayat beliau.

J. Syarat-syarat Wajib Shiyam
Adapun syarat-syarat wajib shiyam adalah sebagai berikut :
1. Islam
Syarat ini merupakan syarat wajibnya puasa, menurut madzhab Hanafi dan merupakan syarat sahnya puasa, menurut para Jumhur Fuqaha'.
Perselisihan ini akan terlihat sekali pada orang kafir yang belum msuk Islam. Menurut madzhab Hanafi bahwa orang kafir tidak diwajibkan berpuasa, karena syarat wajibnya belum terpenuhi; yaitu Islam. Sedangkan menurut jumhur bahwa orang kafir diwajibkan berpuasa, karena Islam merupakan syarat sah puasa bukan syarat wajib. Meskipun orang-orang kafir diwajibkan berpuasa, namun puasa yang mereka kerjakan tidak akan diterima kecuali mereka telah masuk Islam.
Perbedaan pendapat ini didasari perselisihan mereka tentang : apakah orang-orang kafir diwajibkan seluruh perintah agama atau tidak? Ataukah hanya diwajibkan atas mereka yang beriman saja?
Sedangkan orang-orang yang murtad tetap diwajibkan seluruh perintah agama, maka apabila ia bertaubat dan masuk Islam ia harus mengqadla' puasa yang ia tinggalkan.
Sedangkan orang kafir yang masuk Islam tidak diwajibkan mengqadla' puasa atau perintah-perintah agama yang lain. Sabda Nabi : "Islam menghapus segala dosa yang dilakukan sebelum masuk Islam."

2. Baligh

3. Berakal
Apabila seseorang telah baligh ia wajib berpuasa Ramadlan, sedangkan anak-anak yang belum baligh diharuskan bagi para wali mereka untuk menyuruhnya berpuasa jika mereka telah berumur tujuh tahun, dan dipukul jika meninggalkannya jika mereka telah berumur sepuluh tahun, seperti shalat, namun puasa lebih berat dari shalat, maka kemampuan anak harus diperhatikan, tidak boleh memaksa mereka yang tidak kuat.

Adapun orang yang gila dan orang yang pingsan atau mabuk maka tidak wajib baginya berpuasa, karena tidak terpenuhinya sayarat pada diri mereka yaitu akal. Sabda Nabi : "Diangkat pena dari tiga golongan; dari anak kecil sampai ia baligh, dari orang gila sampai ia  sembuh, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun."

Menurut madzhab Syafi'i jika anak kecil baligh atau orang gila sembuh dan orang kafir masuk Islam di tengah hari Ramadlan, maka tidak ada qadla' bagi mereka, dan jika orang siuman (sadar) dari pingsannya atau orang masuk Islam setelah murtad atau normal dari mabuk, maka puasa yang ditinggalkannya mereka wajib mengqadla'nya.
Khusus untuk orang pingsan, puasanya sah jika ia pingsan setelah berniat puasa di malam hari, walaupun ia hanya siuman sebentar saja pada siang harinya, dan jika ia telah berniat di malam hari kemudian pada siang harinya tidak siuman, maka puasanya tidak sah.

4. Mampu dan bermukim
Orang yang sakit atau bepergian tidak wajib atasnya berpuasa dan wajib untuk mengqadla'nya, namun jika berpuasa sah puasanya.
Allah  berfirman : "Maka barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (safar), maka ia harus menggantinya pada waktu yang lain." (QS. Al Baqarah : 184)

K. Syarat Sah Shiyam Ramadlan
Syarat sah shiyam Ramadlan ada 4 (empat) macam :
1. Islam
Tidak sah puasanya orang kafir yang belum Islam, meskipun mereka diwajibkan berpuasa.

2. Berakal
Tidak sah puasa orang yang hilang akalnya, baik karena pingsan, mabuk atau gila. Sedangkan dalam masalah mengqadla'nya mereka telah diterangkan pada bab Syarat Wajib Shiyam.

3. Bersih dari Haidl dan Nifas
Tidak sah puasanya seorang wanita apabila dalam keadaan haidl atau nifas, bahkan dilarang untuk berpuasa dan mereka harus mengqadla' pada waktu yang lain ketika dalam keadaan telah suci dari keduanya.
Jika seorang wanita bersih dari haidl dan nifas menjelang fajar tiba, maka sah puasanya untuk esok hari meskipun ia mandi dan membersihkan diri setelah terbit fajar.
Ummu Salamah dan 'Aisyah pernah menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi  memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, kemudian ia mandi dan berpuasa.

4. Niat
Niat adalah ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu tanpa ada kerguan. Sedangkan waktu niat adalah malam hari sampai habis waktu sahur.
Sabda Nabi  : "Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak sah puasanya."
Terkecuali puasa-puasa sunnah, maka puasanya menjadi sah meskipun niatnya dilakukan pada siang hari selama matahari belum tergelincir dan belum memakan sesuatu atau minum. 'Aisyah berkata : "Rasulullah masuk ke rumah pada suatu hari, lalu beliau bertanya kepadaku, "Apakah ada makanan dirumah?" Aku menjawab : "Tidak ada." Maka beliau berkata : "Kalau begitu saya puasa saja hari ini."

Dalam niat harus menentukan bahwa ia berniat puasa Ramadlan besok pagi, jika dalam bulan Ramadlan ia berniat untuk puasa selain puasa Ramadlan maka tidak sah kedua-duanya. Karena puasa merupakan satu ibadah yang disandarkan pada waktu dalam pelaksanaannya, seperti shalat. Ini adalah pendapat Jumhur.
Niat juga harus kuat dan kokoh dalam hati dan tidak boleh ada keraguan, jika ia ragu dalam berniat, seperti : jika besok pagi Ramadlan saya puasa, jika tidak maka saya puasa sunnat atau puasa-puasa yang lainnya. Maka jika semacam ini, tidak sah salah satu dari puasa-puasa tersebut karena tidak ada ketetapan dalam berniat. Ini adalah pendapat Jumhur.
Niat juga harus dilaksanakan setiap malam, sebab setiap hari adalah merupakan ibadah yang tersendiri. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang menerangkan tentang kaeharusan berniat di malam hari. Ini adalah pendapat Jumhur.
Tempat niat adalah hati, tidak disayaratkan untuk diucapkan.

L. Hal-hal Yang Disunnahkan Dalam Berpuasa
Adapaun hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa sebagai berikut :
1. Makan sahur, meskipun hanya seteguk air, dan mengakhirkannya di akhir waktu sahur.
Sabda Rasulullah  : "Sahurlah, karena di dalam sahur terdapat barakah." Dan sabdanya lagi : "Umatku senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa dan mengakhirkan sahur."
2. Mempercepat berbuka ketika telah masuk waktu, dan disunnahkan berbuka dengan ruthab, kalau tidak ada makan kurma, kalau tidak ada makan yang manis-manis, dan kalau tidak ada juga cukup minum air putih. Disunnahkan dengan dengan jumlah yang ganjil.
Anas  berkata : "Nabi  berbuka dengan memakan ruthab sebelum ia shalat, kalau tidak ada baru ia makan kurma, kalau tidak ada, ia minum air putih." (HR. Ahmad)
3. Berdo'a disaat berbuka
Nabi berdo'a ketika berbuka :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

Do'a Ibnu Umar ketika berbuka :
اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكُ بِرَحْمَتِكَ الَّتِى وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ
"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan kasih sayang-Mu yang meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuni dosa-dosaku."
4. Memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa meskipun dengan kurma atau hanya air putih, akan lebih afdlal jika mengenyangkan mereka.
Nabi  bersabda : "Barangsiapa yang memberi makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahal sebagaimana orang yang diberi bkaan tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun."
5. Bersuci dari hadats besar (janabat) dan haidl serta nifas sebelum terbit fajar. Hal in untuk keluar dari menyelisihi pendapat Abu Hurairah yang mengatakan bahwa orang yang tidak bersuci dari hadats besar maka tidak sah puasanya."
6. Menahan diri dari perbuatan yang mubah yang tidak banyak manfaatnya, dan menahan lisan dari perkataan yang tidak ada manfaatnya.
Sedangkan menahan diri dari dari perbuatan dosa dan perkataan yang kotor wajib dilakukan setiap saat, terlebih di bulan Ramadlan. Nabi  bersabda : "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan bohong, maka Allah tidak butuh terhadap penahanannya dari haus dan lapar."
7. Meninggalkan hal-hal yang menyenangkan.


SHALAT TARAWIH


I. Pengertian
Shalat Tarawih adalah shalat malam yang dilaksanakan pada bulan Ramadlan. Dan shalat malam disebut juga shalat Tahajjud, sebagaimana Ibnu Faris mengatakan : " المتهجّد " (orang yang shalat di malam hari).
Sedangkan Tarawih adalah bentuk jama' dari : الترويحة, yang artinya istirahat setelah empat rakaat.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radliyallahu 'Anha, yang artinya :
"Aisyah berkata : "Adalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam shalat empat rakaat pada suatu malam ke malam, beliau istirahat. Kemudian beliau shalat lagi dengan panjang sehingga aku pun merasa iba kepada beliau, lantas aku berkata : "Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosa engkau, baik yang telah lalu maupun yang akan datang." Kemudian beliau menjawab : "Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur." (HR. Al Baihaqy).

Berangkat dari hadits di atas dan atsar yang menguatkannya, maka disunnahkan duduk istirahat setelah satu tarawih (empat rakaat). Dan empat Imam Madzhab telah mensepakati hal itu. Namun mereka berbeda pendapat dalam kegiatan apa yang dilakukan dalam duduk istirahat tersebut.

Al Hanafiyah berpendapat : Duduk seperti ini disunnahkan dan lamanya seperti lamanya shalat empat rakaat dan hendaklah ketika duduk istirahat itu menyibukkan diri dengan dzikir, tahlil atau diam.

Al 'Allamah Al Halby berkata : "Sedangkan istirahat di sela-sela shalat tarawih adalah duduk setelah empat rakaat dan lamanya sama dengan satu tarawih, demikian juga istirahat tersebut dilakukan sebelum shalat witir dan duduk istirahat ini bukan hanya sekedar duduk, akan tetapi ketika duduk istirahat dan menunggu (diteruskannya shalat tarawih) ada beberapa pilihan. Kalau ia suka, boleh duduk dengan diam, boleh juga membaca tahlil atau tasbih atau membaca Al Qur'an dan atau shalat nafilah sendirian. Landasan duduk istirahat yang hukumnya Mustahab adalah kebiasaan penduduk dua kota al haram (Mekah dan Madinah). Penduduk Mekah biasanya mereka melakukan Thawaf setelah setiap satu tarawih (empat rakaat) dan juga shalat dua rakaat setelah Thawaf. Sedangkan penduduk Madinah biasanya mereka shalat empat rakaat setelah satu tarawih. Berangkat dari sana (kebiasaan penduduk dua kota al haram) ditetapkan agar memisahkan atau membuat tenggang waktu (untuk istirahat) antara dua tarawih, sedangkan lamanya satu tarawih.

Sedangkan Al Hanabilah dan As Syafi'i berpendapat : "Tidak ada disebutkan dalam satu riwayat tentang adanya do'a, dzikir atau shalat dalam duduk istirahat diantara dua tarawih. Sedangkan Imam Ahmad memakruhkan shalat sunnah diantara shalat tarawih dan beliau berkata : "Shalat tathawwu' itu adanya setelah shalat wajib dan tidak ada shalat tathawwu' diantara shalat tarawih, tapi jika seseorang shalat tathawwu' setelah shalat tarawih dengan cara berjamaah atau dia shalat tarawih lagi degan jamaah yang lain." maka menurut beliau tidak apa-apa.

II. Disyari'atkannya Shalat Tarawih, Hukum Dan Fadlilahnya
Hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, yang artinya :
"Dari Abu Hurairah RA ia berkata : "Adalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam menganjurkan bangun (untuk shalat malam) pada bulan Ramadlan dengan tidak mewajibkannya sehingga beliau bersabda : "Barangsiapa yang bangun (untuk shalat tarawaih) di bulan Ramadlan dengan keimanan (membenarkan wajibnya ibadah shiyam, shalat tarawih itu benar dan meyakini keutamaannya) dan hanya mengharap ridla Allah semata (hatinya senang, tidak membenci dan tidak merasa berat dalam melaksanakannya serta tidak mengharapkan perhatian manusia), maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhary, Fathul Baari-IV/314-315, No. 2008-2009).

Hadits di atas menunjukkan :
1. Disyari'atkannya shalat Tarawih
2. Hukum shalat Tarawih adalah Sunnah Muakkadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
3. Fadlilah shalat Tarawih, diantaranya :
- Diampuni dosa-dosa yang telah lampau atau yang akan datang. (Ibnu Hajar Al Atsqalani)
- Diampuni dosa-dosa besar dan kecil (Ibnu Mundzir)
- Diampuni hanya dosa-dosa kecil saja (Imam Haramain)
- Diampuni dosa-dosa yang kecil dan meringankan dosa-dosa besar jika tidak melakukan dosa-dosa kecil (Imam Nawawi, dalam Syarhnya).

III. Sifat Pelaksanaan Shalat Tarawih
Menurut pendapat Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi'i Rahimahumullah, bahwa shalat malam baik di bulan Ramadlan ataupun di luar bulan Ramdlan dilaksanakan dua rakaat-dua rakaat atau melaksanakan tasyahud dalam setiap selesai melaksanakan dua rakaat, berdasarkan hadits :

Dari Nafi' dan Abdillah bin Dinar dari Ibnu 'Umar : "Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tentang shalat malam. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam menjawab : "Shalat malam itu dua-dua apabila diantara kalian khawatir akan habisnya waktu shalat malam dan witir dengan terbitnya fajar shadiq yang menunjukkan waktu shubuh, maka shalatlah satu rakaat yang menjadikan ganjil bilangan rakaat shalat yang ia lakukan." (HR. Bukhary, No. 990).

Dibawah ini disebutkan beberapa cara shalat malam dan witir yang pernah dilakukan oleh Rasulullah  :
1. Beliau shalat tiga belas rakaat dibuka dengan dua rakaat ringan ( خفيفتين), berdasarkan hadits :

Dari Zaid bin Khalid al Juhani, bahwasanya dia berkata : "Sesungguhnya aku telah memantau shalat Rasulullah  , beliau shalat dua rakaat ringan, setelah itu beliau shalat dua rakaat yang panjang, yang panjang, yang panjang. Kemudian setelah itu beliau shalat dua rakaat lagi namun tidak seperti dua rakaat yang sebelumnya. Kemudian setelah itu beliau shalat dua rakaat lagi namun tidak seperti dua rakaat yang sebelumnya. Kemudian setelah itu beliau shalat dua rakaat lagi namun tidak seperti dua rakaat yang sebelumnya. Kemudian setelah itu beliau shalat dua rakaat lagi namun tidak seperti dua rakaat yang sebelumnya. Kemudian beliau shalat witir satu rakaat, maka jumlah seluruhnya tiga belas rakaat. (HR. Muslim No. 765 dan Abu Daud No. 1353)
2. Beliau shalat tiga belas rakaat, diantara delapan rakaat beliau salam pada setiap dua rakaat, lalu beliau shalat witir lima rakaat, tidak duduk dan tidak salam kecuali pada rakaat yang kelima.
Berdasarkan hadits :
Dari Aisyah g berkata : "Sesungguhnya Rasulullah  biasa tidur malam, apabila beliau bangun lantas bersiwak kemudian berwudlu lalu shalat delapan rakaat dengan duduk (tasyahud) pada setiap dua rakaat, lalu mengucapkan salam lantas beliau shalat witir lima rakaat dan tidak duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat kelima, kemudian salam. (HR. Ahmad dan Abu Daud No. 1324).
3. Rasulullah  shalat sebelas rakaat, lalu salam pada setiap dua rakaat, setelah itu beliau witir satu rakaat. Berdasarkan hadits :

Dari Aisyah RA berkata : " Rasulullah  shalat malam diantara waktu setelah shalat 'Isya  ('atamah) hingga shalat fajar sebelas rakaat. Setiap dua rakaat beliau salam dan witir satu rakaat. Dan apabila muadzin telah selesai mengumandangkan adzan shalat shubuh dan telah jelas terlihat oleh Rasulullah  terbitnya fajar shadiq, maka beliau shalat dua rakaat ringan, kemudian berbaring ke arah kanan sampai datang muadzin untuk dikumandangkan iqamah." (HR. Muslim, No. 122, Abu Daud No. 1322 dan Ahmad).
4. Beliau  kadang shalat sebelas rakaat, setiap empat rakaat dengan satu salam, lalu shalat witir tiga rakaat. Berdasarkan hadits :

Dari Salamah bin ‘Abdurrahman, bahwa dirinya pernah bertanya kepada 'Aisyah, bagaimana shalat Rasulullah  di bulan Ramadlan. Beliau menjawab : "Adalah Rasulullah  tidaklah shalat malam baik dibulan Ramadlan maupun di luar bulan Ramdlan melebihi dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat-empat rakaat dan jangan engkau tanyakan baik dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat (witir)." (HR. Bukhary No. 1147, Muslim No. 738, Abu Daud No. 1327).
5. Beliau shalat delapan rakaat dan tasyahud pada rakaat yang kedelapan dan membaca shalawat, setelah itu bangkit dan tidak bersalam, kemudian beliau melanjutkan satu rakaat sebagai witir. Kemudian beliau shalat dua rakaat sambil duduk hingga salam. Berdasarkan hadits :

Aku (Sa'ad) berkata : "Wahai Ummul Mukminin, beritahukanlah aku tentang shalat witir Rasulullah  ? Maka beliau ‘Aisyah g berkata : "Kamilah yang mempersiapkan bagi beliau siwak dan air untuk wudlunya, lalu ketika beliau bangun, beliau bersiwak kemudian shalat sembilan rakaat dengan tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat kedelapan. Beliau berdzikir, memuji, dan berdo'a kepada Allah dan tidak salam, lalu beliau shalat rakaat yang kesembilan kemudian duduk tasyahud, beliau berdzikir, memuji dan berdo'a kepada Allah setelah itu salam. Kemudian beliau shalat dua rakaat sambil duduk, maka jumlahnya sebelas rakaat. Wahai anakku, namun ketika beliau telah lanjut usia dan badannya mulai gemuk, beliau shalat witir tujuh rakaat kemudian shalat lagi dua rakaat sambil duduk, maka jumlahnya sembilan rakaat. (HR. Muslim, No. 746)
6. Beliau  shalat sembilan rakaat, diantaranya enam rakaat beliau duduk pada rakaat yang keenam membaca tasyahud dan shalawat atas nabi, kemudian bangkit dan tidak salam, kemudian beliau witir satu rakaat, setelah itu beliau salam, kemudian shalat lagi dua rakaat sambil duduk seperti yang disebutkan dalam hadits pada cara yang kelima.

Pada pelaksanaan shalat witir, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Malik berpendapat bahwa shalat witir itu satu rakaat dan pelaksanaannya dengan salam pada rakaat kedua, kemudian shalat witir satu rakaat.
Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Ishaq Rahimahumullah membolehkan juga kalau witir itu dilakukan satu rakaat saja tanpa ada shalat nafilah sebelumnya. Dalam hal ini, Imam Malik memakruhkan. Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa shalat witir itu tiga rakaat dan tidak terpisahkan dengan salam (hanya ada satu salam saja). Sofyan At Tsaury berpendapat, bahwa shalat witir itu tiga rakaat, lima, tujuh, sembilan atau sebelas rakaat. Al Auza'i berpendapat, sesungguhnya memisahkan atau menyambungkan antara dua rakaat dengan satu rakaat yang ketiga adalah baik-baik (sah-sah) saja.
Mengamalkan riwayat tersebut boleh-boleh saja akan tetapi yang paling utama adalah shalat malam dan witirnya dilakukan dengan salam pada saat dua rakaat dan pada witir yang berjumlah tiga rakaat, kemudian shalat satu rakaat yang ketiga.

IV. Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat Tarawih dimulai dari setelah melaksanakan shalat 'Isya sampai terbit fajar, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang menerangkan tentang shalat malam Rasulullah  baik di bulan Ramadlan maupun diluar bulan Ramdlan dan lebih utama jika dilaksanakan pada setelah shalat sunnah 'Isya sampai sebelum shalat witir, dan semua ulama' sepakat bahwa shalat tarawih tidak boleh dilaksanakan sebelum shalat 'Isya dan lebih utama lagi jika shalat tarawih dilakukan pada akhir malam sampai sepertiga akhir malam. Sebagaimana hadits Rasulullah  dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Rabb kita yang Maha Agung turun ke langit bumi pada setiap sepertiga malam yang terakhir," kemudian Allah berkata : "Barangsiapa yang berdo'a kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan do'anya dan baransiapa yang meminta kepda-Ku, maka Aku akan memberinya, dan baransiapa yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan memberinya ampunan." (HR. Abu Daud, No. 1301)

V. Disunnahkan Shalat Tarawih dengan Berjamaah Di Masjid
Pelaksanaan shalat Tarawih dengan berjama`ah di masjid lebih utama dari pada shalat sendirian (Imam Syafi`i, Imam Ahmad, pengikut Imam Hanafy dan sebagian pengikut madzhab Maliky). Karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah menegakkannya sebagaimana hadits :
Nu`man Bin Basyir berkhutbah diatas mimbar negeri Himsh : "Kami shalat malam bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pada malam kedua puluh tiga di bulan Ramadlan hingga sepertiga malam pertama, kemudian kami shalat malam lagi bersama beliau pada malam kedua puluh lima hingga pertengahan malam, kemudian kami shalat malam lagi bersama beliau pada malam kedua puluh tujuh hingga waktu yang kami kira kami tidak bisa menjumpai kemenangan, dan kami menyebut sahur dengan kemenangan." (HR. Ahmad, An Nasa'I No. 1602)


I’TIKAF


I. Definisi I’tikaf
I’tikaf secara bahasa : melazimi sesuatu.
Secara syar’i : tinggal selama beberapa waktu bagi seorang muslim berakal, mumayyiz dan merdeka, di masjid dengan niat I’tikaf.

Dalam Al Qur’an ada beberapa ayat yang menunjukkan kepada satu makna, yaitu menetapi sesuatu dan mengkhususkannya.

Allah  berfirman :
            ……
“Kami telah menyelamatkan Bani Israil untuk mnyeberangi laut Merah. Lalu Bani Israil bertemu dengan suatu kaum yang menyembah berhala-berhala mereka. Bani lsrail berkata: "Wahai Musa. buatkanlah tuhan untuk Kami seperti tuhan-tuhan yang mereka punyai.” Musa berkata: Kalian adalah kaum yang benar-benar mati hatinya". (Al A’raf : 138)

Dan firman-Nya :
...... وَانْظُرْ إِلَى إِلهَكَ الَّذِيْ ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا.
“…… Pada saat itu, lihatlah tuhan kamu, patung anak sapi yang selalu kamu sembah di dunia itu.” (Thaha : 97)

Adapun ayat Al Qur’an yang bermakna secara syar’i yaitu menetapi masjid adalah sebagaimana firman Allah kepada Ibrahim dan Ismail AS di dalam surat Al Baqarah : 125 :
    ••    •              
“Wahai kaum Quraisy, ingatlah ketika kami jadikan Ka’bah sebagai tempat manusia berhaji dan tempat yang aman. Dan hendaklah tempat bekas berdirinya Ibrahim kalian jadikan sebagai tempat shalat. Kami telah memerintahkan kepadaa Ibrahim dan Isma’il supaya membersihkan Ka’bah, rumah-Ku dari berhala. Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, orang-orang yang I’tikaf (berdzikir), dan orang-orang yang shalat.”

Sedangkan diantara ayat yang menyebutkan tentang adab-adab I’tikaf adalah :
 ……                 ••  
“…… Janganlah kalian berkumpul dengan istri kalian ketika kalian beri’tikaf di masjid. Itulah syari’at Allah. Wahai kaum mukmin, janganlah kalian melanggar syari’at-Nya. Demikianlah Allah jelaskan syari’at-Nya dengan rinci kepada manusia supaya mereka beruntung mendapatkan rahmat-Nya.” (Al Baqarah : 187)

Begitu juga firman-Nya dalam surat Al Hajj ayat 25:
•           ••              
“Sesungguhnya Kami pasti timpakan ‘adzab yang pedih kepada orang-orang kafir, orang-orang yang menyalahi agama Allah, dan orang-orang yang menghalangi kaum muslimin masuk ke Masjidil Haram. Masjidil Haram Kami jadikan tempat yang aman bagi seluruh kaum muslimin, baik yang tinggal di Makkah maupun pendatang. Siapa saja yang melakukan kejahatan secara zhalim di tempat ini, maka Kami timpakan adzab yang pedih kepadanya.”

II. Hukum I’tikaf
I’tikaf hukumnya adalah Sunnah Masyru’ dengan dalail :
a. Al Qur’an, sebagaimana yang tersebut di atassecara makna.
b. Sabda Rasulullah SAW.
c. Perbuatan istri-istri Nabi SAW dan sebagian para sahabatnya.
d. Dilakukan oleh ummat ini, baik dulu maupun sekarang.

III. Pembagian I’tikaf
1. Wajib, yaitu karena nadzar.
2. Sunnah Muakkadah, yaitu pada bulan Ramadlan khususnya 10 hari terakhir.
3. Sunnah Jaiz (dibolehkan) di seluruh hari-hari pada bulan Ramadlan.

IV. Hadits-hadits Yang Menetapkan tentang I’tikaf
1. Hadits dari ‘Aisyah RA.
عَنْ عَائِشَةَ : كَانَ النَّبِيُّ  يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ
a. Dari ‘Aisyah RA beliau berkata: “Rasulullah  selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadlan sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau mengikuti (I’tikaf) setelah beliau (wafat).” (HR. Bukhary, Fathul Baari, 4/271 Bab I’tikaf: 2026. Muslim 8/66).
b. Dari ‘Aisyah RA beliau berkata: “Nabi  selalu menetapi 10 hari terakhir pada bulan Ramadlan, dan bersabda: “Carilah Lailatul Qadr pada 10 hari terakhir.” (Fathul Baari 4/254 Hadits No. 2020, Muslim, At Turmudzi 2/144, Hadits No. 789).
c. Dari ‘Aisyah RA beliau berkata: Nabi  apabila memasuki 10 hari terakhir mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya.” (Fathul Baari 4/269 No. 2024, Muslim 8/70).

2. Hadits dari Abu Hurairah  .
Abu Hurairah  berkata: “Nabi  melakukan I’tikaf 10 hari pada setiap bulan Ramadlan, dan keika memasuki tahun wafatnya beliau beri’tikaf 20 hari.” (Fathul Baari 4/282 Bab I’tikaf, 2044. Abu Daud, 3/338 N0. 235. Ibnu Majah 1/532).

Para ulama membedakan makna I’tikaf dengan mujawarah. Yang dimaksud mujawarah adalah umum untuk seluruh masjid dan selainnya, baik itu lapangan dal lainnya. Dan mengkhususkan masjid dengan sebutan I’tikaf. (Al Mushannaf, ‘Abdur Razaq, Bab I’tikaf). Tapi maknanya adalah satu (sama).

V. Syarat-syarat I’tikaf
Syarat-syarat I’tikaf adalah:
1. Islam
2. Berakal
3. Tamyiz
4. Suci ketika memulai
5. Niat (karena ia dasar dari seluruh amalan)
6. Berada di masjid
7. Shaum (disyaratkan mutlak oleh Maliky dan Hanafiyah dan tidak disyaratkan oleh Syafi’iyyah dan Hanabilah)
8. Izin dari suami bagi seorang istri (disyaratkan oleh Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah). (Al Fiqhul Islam 2/705-706)

VI. Tempat-tempat Yang Dibolehkan Untuk I’tikaf
Ada 4 (empat) pendapat:
1. Boleh diseluruh masjid-masjid yang ada. Ini pendapat Imam Malik, Syafi’iyyah dan Abu Daud. (Al Aujazul Masadik 5/201, Majmu’ 6/413, Nailul Authar 2/410).
2. Masjid yang dipakai untuk shalat lima waktu dan ada jamaahnya. Ini pendapat Imam Ahmad dan Abu hanifah. Hal ini bagi mereka yang diwajibkan shalat berjamaah, ini pendapat ‘Ali  , ‘Urwah, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Al Zuhry.
3. Di masjid Jami’ yang ditegakkan shalat berjamaah. Hal ini lebih disukai/mustahab menurut As Syafi’iyyah dan Hanabilah.
4. I’tikaf di tiga masjid yang boleh diziarahi, ini pendapat Hudzaifah  dan Said bin Musayyib. Namun tertolak dengan dalil-dalil yang lain. (Nailul Authar 4/321, Mushannaf ‘Abdur Razaq 346).

VII. Adab-adab I’tikaf
1. Menyibukkan diri dengan shalat, tilawatul Qur’an dan dzikir.
2. Disunnahkan berpuasa (pendapat jumhur)
3. Disunnahkan beri’tikaf di masjid Jami’
4. Disunnahkan I’tikaf di bulan Ramadlan
5. Disunnahkan tetap tinggal di masjid pada malam ‘Ied.
6. Menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat. (Fiqh Islam, 2/715-716)

VIII. Hukum Keluar dari Tempat I’tikaf
Yang diperbolehkan secara Ijma’ dan tidak membatalkan :
a. Qadlaul Hajat
b. Makan apabila ia di luar masjid
c. Mengantar istrinya pulang

IX. Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf
1. Keluar dari masjid tapa keperluan dengan sengaja walaupun sebentar
2. Murtad
3. Hilang akal
4. Haidl
5. Nifas
6. Jima’
(Fiqh Sunnah 1/406)


FIQH ZAKAT FITRAH


Muqaddimah
Zakat dalam agama Islam menempati kedudukan yang sangat strategis dan fundamental karena merupakan rukun (pilar) Islam yang ke-3 stelah dua kalimah syahadat dan shalat. Oleh karenanya, setiap muslim wajib mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh syari’at berkaitan dengan persoalan dalam Islam yang sangat mendasar ini.
Dalam kerangka disiplin ilmu Fiqh Islam dikenal ada dua bentuk zakat, yaitu zakat yang berkaitan dengan harta kekayaan, ini biasa disebut dengan zakat Maal dan zakat yang berkaitan dengan diri seseorang, ini disebut zakat Fithrah.
Pada pembahasan ini akan hanya akan dikaji persoalan-persoalan yang berkaitan dengan zakat fithrah menurut pemahaman para ulama, baik ulama salaf maupun khalaf.

Pengertian Zakat Fithrah
Zakat Fithrah adalah zakat yang wajib ditunaikan lantaran telah menyelesaikan ibdah shiyam di bulan Ramadlan. (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/384).
Di dalam kitab Fiqh para ulama menamakan zakat Fithrah ini dalam beberapa sebutan, diantaranya:
- Shadaqatul Fithri
- Zakatul Fithrah
- Zakataul Badan
- Zakatur Ra’si (zakat kepala)
(lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin/ Raddul Mukhtar 2/78, Az Zakat, At Thayyar : 125)

Hukumnya
Jumhur ulama berpendapat bahwa zakat fithrah ini hukumnya wajib, kecuali beberapa ulama mutaakhirin dari pengikut madzhab Malikiyah. Mereka berpendapat bahwa zakat fithrah hukumnya sunnah. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd 3/131 dan Al Mughni, Ibnu Qudamah 4/281).

Adapun dalil yang dipakai Jumhur adalah sabda Rasulullah  :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Dari Ibnu ‘Umar  bahwasanya Rasulullah  telah mewajibkan zakat fithrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas setiap orang muslim, merdeka ataupun hamba sahaya, laki-laki ataupun perempuan. (HR. Bukhary No. 1504, Muslim 2/677 dan Ashhabus Sunan).

Dalam riwayat lain disebutkan :
...... عَلَى الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوْكِ
“…… bagi anak kecil maupun orang dewasa, orang merdeka atau hamba sahaya.” (HR. Bukhary, No. 1512).

Bahkan Ibnu Mundzir menyebutkan ulama telah sepakat bahwa zakat fithrah ini hukumnya wajib. (Al Mughni, Ibnu Qudamah 4/281).

Kapan dan Hikmah Disyrai’atkannya
Zakat fithrah mulai disyari’atkan bersamaan dengan tahun disyari’atkannya puasa Ramadlan yaitu pada tahun kedua Hijriyah, (lihat Mirqatul Mafatih, Abu Hasan AL Mubarakfury 4/159 dan Al Fiqhu ‘Ala Madzahibil Arba’ah, Al Jazirery 1/567).

Adapun hikmah disyari’atkannya adalah sebagai berikut :
1. Bagi orang yang berpuasa, membayar zakat fithrah berarti membersihkan dan mensucikan dirinya dari kekurangan-kekurangan yang mungkin ia lakukan selama menjalankan ibadah puasa, berupa perkataan atau perbuatan yang melanggar syari’at atau lainnya.
2. Sedangkan bagi masyarakat umum, disyari’atkannya zakat fithrah sangat membantu kaum fakir miskin untuk dapat ikut bergembira dan merasakan kebahagiaan pada hari raya ‘Iedul Fithri seperti yang dirasakan oleh orang-orang pada umumnya, sehingga pada hari yang penuh kegembiraan itu mereka tidak lagi meminta-minta atau bersedih hati lantaran telah memperoleh makanan yang cukup pada hari itu. (lihat Fiqh Zakat, Dr. Yusuf Qardlawi 2/922 dan Az Zakat, At Thayyar 125-126).

Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah  :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ : فَرَضَ رَسُوْلَ اللهِ  زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Dari Ibnu ‘Abbas  ia berkata, “Rasulullah  mewajibkan zakat fithrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan perbuatan yang tidak terpuji serta untuk memberi makan kepada orang-orang msikin. Barangsiapa membayarkannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa membayarkannya setelah shalat, maka itu hanya bernilai shadaqah saja.” (HR. Abu Daud No. 1371 dan Ibnu Majah No. 1831, dan dishahihkan oleh Al Bani dalam Irwaul Ghalil, No. 834).


Dan Waki’ bin Jarrah Rahimahullah berkata :
زَكَاةُ الْفِطْرِ لِشَهْرِ رَمَضَانَ كَسَجْدَةِ السَّهْوِ لِلصَّلَاةِ تَجْبُرُ نُقْصَانَ الصَّوْمِ كَمَا يَجْبُرُ السُّجُوْدُ نُقْصَانَ الصَّلاَِةِ
“Zakat Fithrah pada bulan Ramadlan itu seperti sujud sahwi dalam shalat, dapat menutupi kekurangan dalam puasa, seperti sujud sujud sahwi dapat menutupi kekurangan dalam shalat.” (Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, Al ‘Allamah Ar Ramli 2/108).

Siapa yang berhak menunaikan zakat fithrah?
Zakat fithrah wajib dibayarkan oleh kaum muslimin yang mampu untuk melaksanakannya. (Al Mughni 4/307). Artinya kewajiban membayar zakat fithrah mencakup semua lapisan masyarakat, baik orang kaya maupun orang miskin, dewasa maupun anak-anak, merdeka maupun budak, dan laki-laki maupun wanita.
Hanya saja jumhur ulama menyatakan orang fakir baru akan terkena kewajiban membayar zakat fithrah manakala ia memiliki kelebihan persediaan makanan bagi diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya selama malam dan pada keesokan hari rayanya, dan telah memenuhi kebutuhan sandang dan papan bagi mereka. Kalau sebaliknya, maka ia tidak terkena kewajiban membayar zakat fithrah, bahkan ia adalah orang yang berhak untuk menerimanya. (lihat Al Mughni 4/307 dan Fiqh Zakat, Dr. Yusuf Qardlawi 2/930).
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  : صَاعٌ مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ عَلَى كُلِّ اثْنَيْنِ صَغِيْرٍ أَوْ كَبِيْرٍ حُرِّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى، أَمَّا غَنِيُّكُمْ فَيُزَكِّيْهِ اللهُ وَأَمَّا فَقِيْرُكُمْ فَيَرُدُّ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِمَّا أَعْطَى.
Rasulullah  bersabda : “(Zakat Fithrah itu adalah) satu sha’ gandum bagi masing-masing anak kecil atau orang dewasa, orang merdeka atau hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan. Adapun orang kaya dari kalian maka akan Allah sucikan dirinya, adapun orang yang miskin dari kalian maka Allah akan kembalikan kepadanya lebih banyak dari apa yang telah ia bayarkan.” (HR. Abu Daud No. 1379 dan Ahmad).

Kadar wajib dan Apa-apa Yang Diperbolehkan Untuk Membayar Zakat Fithrah
Jumhur ulama selain Imam Abu Hanifah Rahimahullah mengatakan bahwa kadar wajibnya membayar zakat fithrah adalah satu sha’ dari bahan makanan pokok penduduk suatu negeri tempat seseorang berada. (lihat Fiqh Sunnah 1/383, Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibil Arba’ah, 1/567-570, Minhajul Muslim, 382).

Sedangkan satu Sha’ adalah Empat Mudd, sedangkan satu mudd gandum beratnya sama dengan 2240 gram (1,24 kg). demikian menurut penelitian salah seorang ulama yang telah dilakukan berulang-ulang tentang kepastian berat dari satu sha’. (lihat Az Zakat 99-100).

Ini adalah kadar minimal, namun diperbolehkan untuk membayar zakat fithrah melebihi kadar yang ditentukan ini. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 25/70).

Bolehkah Membayar Zakat Fithrah dengan Uang?
Jumhur Ulama; Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Ibnu Hazm Rahimahumullah- mengatakan, tidak sah membayar zakat fithrah dengan uang. (lihat Al Mughni 4/295 dan Al Muhalla, Ibnu Hazm 6/137). Sementara Imam Abu Hanifah dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Rahimahumallah.
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang boleh tidaknya membayar zakat fithrah dengan uang dirham, beliau menjawab : “Saya takut zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunnah Rasul  .”
Lalu dikatakan kepada beliau, “Ada suatu kaum yang mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul Aziz membolehkannya.” Beliau berkata, “Mereka telah meninggalkan hadits Rasulullah  dan mengambil perkataan seseorang, padahal Ibnu ‘Umar berkata, “Bahwa sanya Rasulullah  telah mewajibkan zakat fithrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” Sedangkan Allah  berfirman : “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul … “ (QS. An Nisa : 59). Mereka adalah kaum yang menolak sunnah.” (Al Mughni 4/295).

Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyebutkan beberapa alasan mengapa jumhur ulama tidak membolehkan membayar zakat fithrah dalam bentuk uang, diantaranya :
1. Karena hal ini menyelisihi perintah Rasulullah  .
2. Karena hal ini menyelisihi amalan yang telah dipraktekkan oleh para sahabat, dimana mereka menunaikannya dengan satu sha’ makanan. Sebagaimana dari Abu Sa’id  , ia berkata : “Kami mngeluarkannya zakat fithrah pada zaman Nabi  berupa satu sha’ makanan.” (HR. Bukhary).
3. Karena zakat fithrah adalah ibadah yang diwajibkan dari jenis yang tertentu (makanan pokok), maka tidak sah kalau dikeluarkan bukan dengan jenis lainnya sebagaimana tidak sah kalau dikeluarkan bukan pada waktu yang telah ditentukan. (Majlis Syahri Ramadlan : 228).

Waktu Membayarkannya
Para ulama sepakat bahwa mulai diwajibkannya membayar zakat fithrah adalah ketika tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadlan, berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar di atas. (Bidayatul Mujtahid 3/140, Al Mughni 4/298 dan Manarus Sabil, Ibrahim bin Muhammad 1/258).

Dan dibolehkan membayarkannya sehari atau dua hari sebelum hari ‘Iedul Fithri, berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar :
كَانُوْا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ بِيَوْمَيْنِ
“Mereka (para sahabat) memberikannya sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul Fithri.” (HR. Bukhary).

Namun waktu yang paling utama (afdlal) adalah pada hari ‘Iedul Fithri sebelum pelaksanaan shalat ‘Ied, sebagaimana dalam hadits Ibnu “umar :
... وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلوةِ
“Dan beliau memerintahkan agar dibayarkan sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat.” (HR. Bukhary, No. 1503).

Siapa Yang Berhak Menerima Zakat Fithrah?
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para ulama sepakat zakat fithrah diberikan kepada orang-orang muslim yang fakir. (Al Bidayah 3/141). Dan boleh diberikan kepada orang fakir yang ada di luar wilayahnya seandainya sudah tidak ada lagi orang fakir yang ada di wilayahnya.
Pada dasarnya zakat fithrah ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin, namun sekiranya ada kemaslahatan lain maka boleh dialokasikan kepada salah satu atau beberapa golongan lainnya yang berhak menerima zakat. (lihat Az Zakat ; 129 dan Minhajul Muslim : 383).

Penutup
Demikianlah pembahasan singkat tentang zakat fithrah dan fungsinya dalam tinjauan Islam sebagaimana yang telah dipahami oleh para ulama, baik ulama salaf maupun ulama khalaf. Mudah-mudahan Allah  memberikan kemudahan kepada kita untuk dapat mencerna dan memahaminya dan yang lebih penting lagi menerapkannya dalam kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.

Wallahu A’lam bis Shawwab



FIQH ‘IEDUL FITHRI


Definisi dan Dalil
Kata “ ‘Ied “ berasal dari kata “ ‘aada – ya’uudu – ‘audan – ‘iedan”, yang berarti “kembali”. Dikatakan ‘Ied dikarenakan selalu diulang-ulang. (lisanul ‘Arab 3/319).
Ibnul A’rabi berkata, “Dinamakan ‘Ied dikarenakan setiap tahun hari tersebut selalu kembali dirayakan.”

Dan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah  bahwasanya Rasulullah  bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, dan janganlah kalian jadikan makamku sebagai tempat yang kalian selalu berulang-ulang menziarahinya.” (HR. Abu Daud No. 1746 dan Ahmad).

Menjadikan rumah-rumah kita seperti kuburan artinya di rumah itu tidak pernah terdengar lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang dibaca oleh penghuninya. Dan juga karena penghuninya tidak pernah menunaikan shalat Lail (dan shalat sunnah pada umumnya).
Dan beliau sangat tidak menghendaki kalau kita sebagai ummatnya datang dari penjuru dunia, dari tempat yang jauh hanya untuk berziarah ke makamnya. Sehingga dalam hadits lain secara tegas beliau  bersabda,
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِيْ هَذَا (رواه البخارى ومسلم)
“Dan janganlah kalian bersusah payah mengadakan suatu perjalanan kecuali mengunjungi tiga buah masjid. Yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku ini (Masjid Nabawi). (HR. Bukhary – Muslim).

Sedangkan kata “Fithri” berasal dari kata “futhur”, yang berarti makan. Jadi, ‘Iedul Fithri adalah hari dimana ummat Islam diperbolehkan kembali makan di siang hari setelah sebulan penuh mereka diharamkan melakukannya. (Lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/165).

Pernyataan ini disandarkan kepada sebuah sabda Rasulullah  :

“Puasa (Ramadlan) itu adalah pada hari kalian berpuasa. Dan ‘Iedul Fithri itu adalah pada hari kalian berbuka. Sedangkan ‘Iedul Addla adalah pada hari kalian menyembelih hewan kurban.” (HR Tirmidzi, Abu Dau, Ibnu Majah dan Al Baihaqi).

Waktu Disyari’atkannya ‘Iedul Fithri
‘Iedul Fithri disyari’atkan pada tahun pertama Hijriyah. (lihat Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/236). Dalilnya hadits dari Anas bin Malik  :
عَنْ أَنَسٍ  قَالَ : قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ  الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ ؟ قَالُوْا : كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  : إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِّنْهُمَا، يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ.
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah  datang ke Madinah, sedang penduduk Madinah saat itu telah mempunyai dua hari besar, dimana mereka merayakannya dengan bermain dan bersenang-senang. Kemudian Rasulullah  bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Pada kedua hari ini kami memang senantiasa bermain/bersuakria pada masa Jahiliyah dahulu.” Kemudian Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mngganti keduanya dengan hari yang lebih baik daripada dua hari raya itu, yaitu hari raya ‘Iedul Adlha dan hari raya ‘Iedul Fithri .” (HR. Ahmad, Abu Daud, Al Hakim).

Dan dalil yang lainnya yaitu,
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ
Dari Abu Sa’id AL Khudry ia berkata, “Rasulullah  senantiasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha. Lalu yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat.” (HR. Bukhary).

Sedangkan dalil lain adalah Ijma’, bahwasanya semua ulama sepakat tentang disyari’atkannya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha di dalam Islam, sehingga seandainya kita tidak tahu dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah tentang masalah ini, maka cukuplah Ijma’ ulama tersebut sebagai hujjah. Karena Ijma’ itu tidak mungkin salah. Sebagaimana sabda Rasul  yang artinya, “Tidak mungkin ummatku berijma’/bersepakat di atas kesesatan.” (AL Mughni 2/253).

Hukum Shalat ‘Iedul Fithri
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat ‘Iedul Fithri itu hukumnya wajib. Ini adalah pendapat dari madzhab Hanafi. Sementara menurut ulama lainnya, seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik Rahimahumallah, mengatakan bahwa shalat ‘Iedul Fithri hukumnya sunnah Muakkadah. Alasannya karena Rasulullah  tidak pernah meninggalkan shalat tersebut. Dikatakan Mu’akkadah karena dalil-dalilnya kuat, sebagaimana hukumnya shalat fardlu berjamaah. (lihat Bidayatul Mujtahid 2/479).

Para ulama yang mengatakan shalat ‘Iedul Fithri hukumnya tidak wajib menyandarkan pada sebuah riwayat,
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِيْ مَاذَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ ! فَقَالَ : الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا (رواه البخارى)
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah bahwa seorang arab Badui datang menghadap Rasulullah  dengan rambut kusut tidak di sisir lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, terangkan kepadaku shalat yang telah Allah wajibkan atasku sehingga aku harus melaksanakannya?” Rasul  menjawab, “Shalat fardlu yang lima kecuali engkau mau menambah dengan shalat tathawwu’ (sunnah).” (HR. Bukhary)

Dari riwayat ini para ulama menyimpulkan bahwa tidak ada shalat yang wajib kecuali shalat lima waktu. Selain lima waktu hukumnya sunnah, termasuk shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha. Adapun Imam Ahmad Rahimahullah, mengatakan shalat ‘Iedul Adlha hukumnya Fardlu Kifayah. (Al Mughni 3/253).

Waktu Shalat ‘Iedul Fithri
Para ulama mengatakan bahwa waktu shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. (Minhajul Muslim : 278). Namun yang lebih afdlal shalat ‘Iedul Fithri agak diakhirkan daripada shalat ‘Iedul Adlha, karena demikianlah yang dilakukan Rasulullah . (Zaadul Ma’ada, Ibnu Qayyim 1/442).

Ada dua hikmah shalat ‘Iedul Fithri diakhirkan :
1. Shalat ‘Iedul Fithri lebih afdlal diakhirkan karena sebelum shalat tersebut kita disunnahkan untuk makan terlebih dahulu. Diakhirkan waktunya di sini adalah dalam rangka untuk memberi kesempatan kepada kaum muslimin untuk makan pagi terlebih dahulu.
2. Selain itu, shalat ‘Iedul Fithri lebih afdlal diakhirkan waktunya karena untuk memberi kesempatan yang longgar kepada kaum muslimin dalam membayar zakat fithrah. Karena waktu terakhir pembayaran zakat fithrah tersebut adalah menjelang pelaksanaan shalat ‘Iedul Fithri. Seangkan shalat ‘Iedul Adlha itu lebih afdlal dikerjakan diawal waktu, karena kita disunnahkan untuk tiidak makan terlebih dahulu.

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Iedul Fithri
Menurut Jumhur ulama, tempat yang paling afdlal untuk pelaksanaan shalat ‘Iedul Fithri adalah tanah terbuka (lapangan), karena Rasulullah  melakukan shalat tersebut di lapangan. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abu Sa’id Al Khudriy  :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah  senantiasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha.” (HR. Bukhary)

Padahal dalam hadits lain beliau menjelaskan bahwa sekali shalat di masjid Nabawi nilainya sama dengan seribu kali shalat di tempat lainnya kecuali Masjidil Haram. Namun demikian beliau  selalu keluar dan melaksanakan shalat dua ‘Ied ini di lapangan. Ini sebagai bukti bahwa shalat ‘Ied di lapangan itu lebih utama dari pada di masjid. (lihat Al Madkhal, Ibnu Hajji Al Maliki 2/283).

Dan di lapangan dapat memuat jamaah lebih banyak daripada di masjid. Apalagi para wanita yang haidl pun dianjurkan untuk mendengarkan khutbah ‘Ied, sedangkan wanita yang haidl di larang tinggal di masjid. Itulah sebabnya shalat ‘Ied lebih baik dilaksanakan di lapangan dari pada di masjid.

Kaifiyyah Shalat ‘Iedul Fithri
Menurut kesepakatan para ulama, shalat ‘Iedul Fithri jumlahnya adalah dua rakaat. Berdasarkan perkataan ‘Umar bin Khatthab  :
صَلاَةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ اْلأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ  . (رواه أحمد والنسائى)
“Shalat Jum’at itu dua rakaat, shalat ‘Iedul Fithri dua rakaat, shalat ‘Iedul Adlha dua rakaat dan shalat safar juga dua rakaat sempurna dengan tidak di qashar berdasar sabda Rasulullah Muhammad  .” (Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An Nasai).

Adapun jumlah takbir pada rakaat pertama adalah tujuh kali. Tentang ini ada yang mengatakan termasuk Takbiratul Ihram, seperti Imam Ahmad Rahimahullah. Tetapi juga ada yang mengatakan selain Takbiratul Ihram, seperti Imam Syafi’i Rahimahullah. Dalam hal ini kita boleh memilih salah satu dari keduanya, karena ini sifatnya ijtihadi. Atau kita tidak memakai takbir selain takbiratul Ihram pun boleh (sah). Karena takbir itu adalah sunnah hukumnya. Tetapi dalam hal ini kita sebaiknya mengamalkan sunnah. (Al Mughni 2/244).

Sedangkan pada rakaat yang kedua seluruh ulama bersepakat jumlahnya lima kali takbir, selain takbir intiqal/takbir bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah g :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  كَانَ يُكَبِّرُ فِى الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى فِى الْأُوْلَى سَبْعَ مَرَّاتٍ وَفِى الثَّانِيَةِ خَمْسًا (رواه أحمد والنسائى)
Dari ‘Aisyah g bahwasanya Rasulullah  ketika dalam shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha bertakbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua. (HR. Ahmad dan An Nasai).

Adapun bacaan yang dibaca diantara takbir tersebut, Ibnu Taimiyah membolehkan membaca :
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إله إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Memang nash dari hadits tidak ada, namun banyak ulama salaf yang mengamalkan ini. Jadi, kalau kita mengamalkan seperti itu boleh, karena ada contohnya dari para ulama. Kalaupun tidak mengamalkan seperti itu juga tidak apa-apa. Dalam hal ini kita tidak boleh mewajibkan untuk membacanya atau melarangnya, juga tidak boleh membid’ahkan orang yang mengamalkan salah satu dari keduanya.
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata (Zaadul Ma’aad 1/443): “Nabi  diam sejenak diantara dua takbir, namun tidak dihafal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca antara dua takbir tersebut. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Mas’ud  tentang hal ini. Beliau berkata :
بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيْرَتَيْنِ حَمْدٌ لِلهِ  وَثَنَاءٌ عَلَى اللهِ .
“Antara dua takbir berisi pujian dan sanjungan kepada Allah  .” (HR. AL Baihaqi 3/291 dan sanadnya Jayyid).

Adapun surat yang dibaca pada rakaat pertama adalah surat Al A’la, sedangkan pada rakaat kedua adalah surat Al Ghasiyah, seperti shalat Jum’at (HR. Muslim 878). Atau boleh juga pada rakaat pertama surat Qaf sedangkan pada rakaat kedua adalah surat Al Qmar. (HR. Muslim 891).

Shalat ‘Ied ini juga tidak didahului oleh shalat sunnah, baik qabliyah ataupun ba’diyah serta tidak ada adzan dan tidak pula iqamah. Dasarnya dari Jabir bin Samurah  , ia berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
“Aku telah shalat dua hari raya bersama Rasulullah  lebih dari sekali – dua kali tanpa didahului adzan dan iqamah.” (HR. Muslim).

Apabila tidak mendapati shalat berjamaah, maka ia dianjurkan untuk shalata dua rakaat. Demikian pendapat ‘Atha’, Imam Bukhary dan Madzhab Syafi’i, sehingga ia mendapati keutamaan shalat ‘Ied.

Khutbah ‘Ied
Khutbah ini dilaksanakan setelah selesai melakukan shalat ‘Ied . dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas  :
شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ  فَكُلُّهُمْ كَانُوْا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ
“Aku menyaksikan shalat bersama Rasulullah  , Abu Bakar, Umar dan Utsman  , mereka semua melaksanakan shalat sebelum khutbah.” (HR. Bukhary).

Adapun tentang apakah khutbah ‘Ied itu sekali atau dua kali, dalam hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Syeikh Muhammad bin Wahhab Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan, Khutbah ‘Ied itu dua kali. Demikian menurut Imam Malik Rahimahullah. Memang tidak ada nash yang shahih dari Rasulullah  yang menerangkan bahwa khutbah ‘Ied itu dua kali. Tetapi penetapan khutbah ‘Ied itu ada dua kali adalah berdasarkan istinbat dari para ulama dalam menyimpulkan waqi’i yang ada atas pertimbangan bahwa pada ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha seperti shalat Jum’at, ada shalatnya dua rakaat dan khutbah.

Sementara menurut Ibnu Qayyim Rahimahullah juga mengatakan tidak ada keterangan bahwa Rasulullah  membuka khutbah pertama dengan takbir sembilan kali dan khutbah kedua tujuh kali. (Zaadul Ma’aad 1/447-448). Tetapi hal ini diamalkan oleh para ulama. Maka kita dalam hal ini juga tidak terlalu memaksakan, kedua-duanya boleh/sah.

Adapun mendengarkan khutbah ‘Ied hukumnya sunnah, karena Rasulullah  bersabda setelah beliau  mengimami shalat ‘Ied :
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Sesungguhnya kami akan berkhutbah, maka barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan khutbah hendaklah ia duduk, namun barangsiapa yang ingin pergi silahkan pergi.” (HR. Abu Daud, sanadnya shahih, lihat Irwaul Ghalil 3/96-98).

Waktu Takbir ‘Iedul Fithri
Syeikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar As Syinqithy berpendapat bahwa waktu mulai diperbolehkannya takbir ‘Iedul Fithri adalah pada malam satu Syawwal. Hal ini berdasarkan firman Allah  : “Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengumandangkan takbir atas hidayah-Nya yang telah diberikan kepada kalian mudah-mudahan kalian mau bersyukur.” (QS. Al Baqarah : 22).
Namun waktu takbir yang paling ditekankan adalah dimulai dari ba’da shubuh sampai ditunaikannya shalat ‘Ied. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya.
Adapun lafadz takbir bisa diucapkan dua kali dan bisa juga tiga kali, keduanya boleh diakai. (lihat Ahkamul ‘Iedain, Syeikh Ali Hasan ‘Abdul Hamid : 22).

Sunnah-sunnah Pada ‘Iedul Fithri
1. Sunnah mandi di pagi harinya
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى (رواه ابن ماجه، 1/417، 4/74)
Dari Ibnu ‘Abbas  , bahwa sanya Rasulullah  selalu mandi untuk shalat ‘Iedul Fithri sehingga beliau makan beberapa butir kurma.” (HR. Bukhary)
2. Makan terlebih dahulu ketika akan menghadiri shalat ‘Iedul Fithri.
عَنْ أَنَسٍ  ، كَانَ النَّبِيُّ  لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ التَّمَرَاتِ (رواه البخارى، 2/21)
Dari Anas  , adalah Rasulullah  tidak berangkat untuk shalat ‘Iedul Fithri sehingga beliau makan beberapa butir kurma.” (HR. Bukhary)

3. Memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki, bahkan Rasulullah  ketika itu memakai burdah berwarna hijau dan terkadanag bergaris-garis merah, bukan warna merah yang polos, karena kita tidak diperbolehkan memakai pakaian warna merah polos.
4. Mengambil jalan yang berlainan ketika pergi menghadiri shalat ‘Iedul Fithri dengan jalan pulang darinya.

Ucapan Selamat pada Hari ‘Ied
Syeikh Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya, maka beliau menjawab, “Ucapan selamat pada hari raya, dimana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat ‘Ied, Taqabbalallahu Minna wa Minkum, (Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian), dan yang semisalnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya.” (Majmu’ Fatawa 24/253).
Imam Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari (2446) mengatakan dalam Al Mahamiliyyat dengan Isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata : “Para sahabat Rasulullah  bila bertemu pada hari raya, maka sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain : “Taqabbalallahu Minna wa Minka.”

Beberapa Amalan Bid’ah dan Munkar pada Hari Raya ‘Iedul Fithri
1. Ziarah kubur, yaitu mengkhususkan ziarah kubur pada pagi hari raya ‘Iedul Fithri setelah shalat ‘Ied. Hal ini disebutkan oleh Syeikh Al Bani dalam kitab Ahkamul Janaiz (258).
2. Mengkhususkan qiyamul Lail pada malam ‘Ied dengan beranggapan pada saat itu mempunyai fadlilahnya tersendiri, karena riwayat tentang ini palsu.
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَلَيْلَةَ الْأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ يَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Barangsiapa menghidupkan malam ‘Iedul Fithri dan malam ‘Iedul Adlha, maka hatinya tidak akan mati pada hari hati akan menjadi mati.” (Hadits ini palsu, lihat Silsilah Hadits-hadits Palsu, Syeikh Albani No. 520).
3. Berpuasa pada hari raya ‘Iedul Fithri.
4. Berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya.

Demikianlah makalah ini kami susun, mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing kita kepada jalan Hidayah, jalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah  dan di tempuh oleh para sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan ihsan. Dan muah-mudahan kita juga dijauhkan oleh Allah  dari jalan bid’ah dan penyimpangan karena hal tersebut hanya akan membawa kepada penyesalan dan kesengsaraan.
Segala puji hanya milik Allah dan semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah  . Amien !!!


Sebagian tulisan arabnya disini rusak, karena kedepannya akan saya siapkan dengan format word saja, yang nantinya bisa anda download langsung tanpa mengcopy tulisan yang ada disini.
Sekian MAKALAH KAJIAN FIQH RAMADLAN yang bisa saya sajikan kepada anda. semoga MAKALAH KAJIAN FIQH RAMADLAN ini bermanfaat. dan terima kasih sudah berkunjung.
MAKALAH KAJIAN FIQH RAMADLAN
Video Penampakan Setan saat Eksorsis Hebohkan Dunia Maya
Daniel Trochta, pria di Czech, merekam proses eksorsis atau pengusiran iblis dari dalam tubuh wanita di dalam gereja. Setelahnya, ia terkejut karena melihat adanya penampakan setan atau "luciver" ketika menonton video di ponselnya. Ada wanita yang berteriak ketika setan keluar dari tubuhnya. Video ini membuat geger warga yang tinggal di sekitarnya. Lokasi gereja ini berada di Virgin Mary, Czech. Pihak gereja mengakui, foto penampakan setan itu asli. Daniel, awalnya mengaku terkejut ketika mendengar suara teriakan wanita yang begitu kencang. Ia lalu mencoba mencari tahu dengan membuka pintu gereja. Namun, pintu ditutup dari dalam. Tak kehabisan akal, ia pun mengarahkan ponsel miliknya ke lubang kunci pintu itu. ”Aku benar-benar terkejut. Tonton lah. Aku sarankan kalian menonton itu pakai headphone. Dan dengarkan suaranya,” katanya. Pendeta Marek Dunda yang bertugas di gereja Katholik itu mengakui, penampakan itu asli. Namun, ia enggan menjelaskan lebih lanjut. “Kalau merekamnya saja melalui lubang kunci, tak ada lagi yang bisa kukatakan. Kami hanya meminta Tuhan melindungi dan membebaskan perempuan itu. Kami berdoa pakai bahasa Latin,” jelasnya. Ia tidak bersedia mempublikasikan siapa sebenarnya perempuan itu. Karena itu merupakan privasi dan ia tak ingin kehidupannya terganggu gara-gara video ini.
MAKALAH KAJIAN FIQH RAMADLAN

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright 2014 Bulan Ramadlan Template by: Proyek Template SEO - Ramadlan - Ramadlaner